BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap
manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan
manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan
pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi
mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan
dengan Pendidikan.
Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan akan
menimbulkan dua macam dampak yang saling bertentangan. Kedua dampak itu adalah
dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif adalah segala sesuatu yang
merupakan harapan dari pelaksanaan
kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut sebagai ’Tujuan’. Sedangkan
dampak negatif adalah segala sesuatu yang bukan merupakan harapan dalam
pelaksanaan kegitan tersebut, sehingga dapat disebut sebagai hambatan atau
masalah yang ditimbulkan.
Jika peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka
pelaksanaan pendidikan akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai
masalah dan hambatan yang akan dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut
sebagai permasalahan Pendidikan.
Pembangunan
pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda
pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya
yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk
memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna
meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum.
Semua
warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan
dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ”yang kaya” maupun ”yang miskin” dan
masyarakat perkotaan maupun pedesaan (terpencil). Kurang meratanya pendidikan
di Indonesia terutama akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin dan
terpencil menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada
langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk
menanganinya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dan diungkapkan dalam makalah
ini adalah :
1. Bagaimana pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
2. Apa saja permasalahan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
1. Bagaimana pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
2. Apa saja permasalahan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
1.3 Batasan Masalah
Agar
masalah yang dikemukakan terarah pada sasaran maka perlu pembatasan pada
makalah ini, yaitu hanya membahas tentang pemerataan pendidikan bagi masyarakat
miskin dan terpencil di Indonesia.
1.4 Tujuan Penulisan
a.
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah :
Untuk mengetahui bagaimana pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.
Untuk mengetahui bagaimana pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.
b.
Untuk
mengetahui apa saja permasalahan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin
dan terpencil di Indonesia.
c.
Untuk
mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan
bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pemerataan
Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari
kata dasar rata, yang berarti: 1) meliputi seluruh bagian, 2) tersebar kesegala
penjuru, dan 3) sama-sama memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan kata
pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan
melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan
masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah
pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh
pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau biasa disebut perluasan
keempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan
nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama
unutk memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak
dapat dibedakan menurut jenis kelamin,
status sosial, agama, amupun letak lokasi geografis.
Dalam propernas tahun 2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai
kebijakan pembangunan pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
“Mengupayakan perluasan dan pemeraatan memperoleh pendidikan yang bermutu
tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya Manusia Indonesia
berkualitas tinggi dengan peninggakatan anggaran pendidikan secara berarti“.
Dan pada salah satu tujuan pelaksanaan pendidikan Indonesia adalah untuk pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
bagi setiap warga negara.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa Pemerataan Pendidikan
merupakan tujuan pokok yang akan diwujudkan. Jika tujuan tersebut tidak dapat
dipenuhi, maka pelaksanaan pendidikan belum dapat dikatakan berhasil. Hal
inilah yang menyebabkan masalah pemerataan pendidikan sebagai suatu masalah
yang paling rumit untuk ditanggulangi.
Permasalahan Pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya
koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga
daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara
pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga
terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan
proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan yang
dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daearh-daerah terpencil.
Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia
sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang
diharapkan.
Sejalan
dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat
(1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi”.
Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri
bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci
utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa,
tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia.
Pendidikan
mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan
bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan.
bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan.
2.2 Pemerataan Pendidikan
Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Era
global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam
semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong
oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan
teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah
ke bawah.
Mereka
yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan
global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di
tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal yang tidak mungkin
diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini perlu ditempuh
strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
Untuk
itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan
pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar
38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data
Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan
utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa
yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya
kecemburuan sosial.
Di
Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di
daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka
adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan
potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru
seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan
pendidikan dengan biaya yang relatif rendah (Ono Purbo, 1996), penggunaannya
masih merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’.
Di
samping itu, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta
dapat menghadirkan pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan
tetap dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam
hal ilmu pengetahuan. Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di
tempat-tempat jauh yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya:
fasilitas, alat-alat transportasi dan komunikasi di samping rendahnya
pengetahuan mereka terhadap teknologi.
Bila
pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini – bila perbaikan
hidup masyarakat yang lebih banyak ini yang menjadi sasaran kita dengan
menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas; lebih efektif dan cepat –
kondisi yang proporsional harus diciptakan dengan memobilisasi sumber-sumber
lokal dan nasional. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah
geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur
Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan
penduduk ataupun antargender.
Pemerataan
pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi
pemerataan pendidikan formal dan pemerataan pendidikan non formal.
2.2.1
Pemerataan Pendidikan Formal
Pada
jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan peningkatan
pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama, terutama bagi masyarakat
miskin maupun masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan formal
terdiri dari pemertaaan pendidikan di tingkat prasekolah, sekolah dasar,
menengah, perguruan tinggi.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pada
pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam
pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis,
elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan
atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi
silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image”
di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas, sekolah plus,
sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen
(laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada
sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
Untuk
pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam
memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun.
Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang
sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja
yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik
langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya
partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Selain
itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga
tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa,
sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung
halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan
atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan
institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah
ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah
lembaga pendidikan tinggi.
Untuk
bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa
harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada
beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala
komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini
bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal
akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme.
Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti
diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Prinsip
dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua
golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua,
ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa
menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas
menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin)
mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal
itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia
2.2.2
Pemerataan Pendidikan Nonformal
Di
samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan
pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan
dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Pada jalur
pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan
akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
Sampai
dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi
dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun
sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh
masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia
dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih
sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya
yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke
bawah.
2.3 Permasalahan Pemerataan
Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraan baik pada pendidikan prasekolah dan pendidikian dasar, secara ringkas diuraikan berikut;
a. Pendidikan prasekolah,
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil adalah sebagai berikut :
1) Sebagian besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk pendidikan prasekolah.
2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat mendukung aktivitas anak didik dalam bermain sambil belajar.
b. Pendidikan dasar
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil, kaitannya dengan perluasan dan pemerataan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib belajar belum memiliki makna “compulsory” karena ketidakmampuan subsidi pemerintah untuk menjangkau masyarakat marjinal ke bawah yang jumlahnya cukup besar dan secara ekonomi tidak mampu.
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraan baik pada pendidikan prasekolah dan pendidikian dasar, secara ringkas diuraikan berikut;
a. Pendidikan prasekolah,
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil adalah sebagai berikut :
1) Sebagian besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk pendidikan prasekolah.
2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat mendukung aktivitas anak didik dalam bermain sambil belajar.
b. Pendidikan dasar
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil, kaitannya dengan perluasan dan pemerataan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib belajar belum memiliki makna “compulsory” karena ketidakmampuan subsidi pemerintah untuk menjangkau masyarakat marjinal ke bawah yang jumlahnya cukup besar dan secara ekonomi tidak mampu.
2.4 Perkembangan Pemerataan
Pendidikan di Indonesia
Selama
ini, pembangunan pendidikan telah membuahkan hasil yang cukup baik. Pencapaian
pembangunan pendidikan antara lain dapat dilihat pada peningkatan angka
partisipasi kasar (APK) di setiap jenjang pendidikan. Menurut data Susenas
2004, APK pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing telah mencapai 107,13
persen dan 82,24 persen, sedangkan APK pada jenjang SMA/SMK/MA telah mencapai
54,38 persen.
Meskipun demikian, angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, mengingat sampai dengan tahun 2003 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen.
Meskipun demikian, angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, mengingat sampai dengan tahun 2003 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen.
Sementara
itu, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas
baru mencapai 7,24 tahun. Meskipun pada tahun 2004 angka partisipasi sekolah
(APS) penduduk usia 7–12 tahun sudah hampir 100 persen, angka partisipasi
sekolah penduduk usia 13–15 tahun dan penduduk usia 16–18 tahun masing-masing baru
mencapai 83,5 persen dan 53,5 persen (Susenas 2004). Untuk itu, diperlukan
upaya sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat
meningkatkan angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Dalam hal ini,
pada tahun 2006, pencapaian APS diperkirakan masih sebesar 83,2 persen pada
kelompok usia 13–15 tahun dan 56,0 persen pada kelompok usia 16–18 tahun sesuai
sasaran RKP 2006.
Meskipun
demikian, pembangunan pendidikan masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan
terutama berkaitan dengan perluasan akses dan pemerataan pendidikan pada jalur
formal. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang
berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT
tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen.
Sementara
itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out
di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI
tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs
sebanyak 759.054 orang. Masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan
pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar merupakan persoalan serius
yang dapat mempengaruhi keberhasilan penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun.
Menurut
data Susenas 2003, masih tingginya angka putus sekolah dan tidak dapat
melanjutkan pendidikan itu lebih banyak bersumber pada persoalan ekonomi,
karena banyak di antara anak-anak usia sekolah dasar itu berasal dari keluarga
miskin. Untuk menekan angka putus sekolah, pemerintah menyediakan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Sekolah (BKS), dan Bantuan Khusus
Murid (BKM) atau beasiswa.
2.5 Upaya Pemerintah dalam
Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Untuk
meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil
seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap
pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah
Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Selain itu pemerintah akan mengurangi
tingkat disparitas atau ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan
yang bersifat gender.
2.5.1 Wajib Belajar
Dalam
sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9
tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti
dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan
semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di
Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29
yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’
tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih
berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang
menanggungnya”
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan
penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain
dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah
pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun
2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
2.5.2 Bidang Teknologi
Kemajuan
teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan
pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil.
Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang
beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau
oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan
pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu
pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan.
Eksistensi
televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat
menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya,
televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam
menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya
berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan
yang disiarkannya. Sebagai media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan
satelit, televisi menjadi sarana pemersatu wilayah yang efektif bagi
pemerintah.
Pemerintah
melalui TVRI menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke
seluruh pelosok tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah
dirintis Televisi Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu
dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom),
lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini
untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang
tujuan pendidikan nasional.
Tugasnya
mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina
kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan
jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan
pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip
teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan
Nasional.
Siaran
Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu sistem atau
model pemanfaatan program media audio interaktif untuk siswa SD yang
dikembangkan oleh Pustekkom sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir dimaksudkan
untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Produk media audio lain yang
dihasilkan oleh Pustekkom antara lain Radio Pelangi, audio integrated, dan
audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi
sebagai media pembelajaran bagi peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di
daerah terpencil dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu
pendidikan .
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerataan
pendidikan yang ada saat ini masih kurang terealisasikan dengan baik.
Permasalahannya yaitu karena pendidikan itu sendiri masih berorientsi di
wilayah perkotaan dan subsidi dari pemerintah itu pun masih belum mencukupi
untuk masyarakat yang tidak mampu yang jumlahnya cukup besar. Upaya yang
dilakukan pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat
miskin dan terpencil di Indonesia yaitu dengan adanya program wajib belajar 9
tahun dan pengadaan teknologi informasi seperti televisi dan radio.
3.2 SARAN
Upaya-upaya
peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat
terpencil yang disarankan oleh penulis adalah :
a. Pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha yang menjadi ruh/biaya operasional pendidikan lebih-lebih tanpa melibatkan pembiayaan kepada siswa. Kalaupun siswa dikenai biaya itupun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
b. Bagaimana pemerintah dapat membuat regulasi tentang standar Biaya Operasional Pendidikan. Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu.
c. Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal Swadaya, Block Grant, dll) kepada sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi.
d. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang profesional untuk dapat mengaar di daerah-daerah terpencil.
a. Pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha yang menjadi ruh/biaya operasional pendidikan lebih-lebih tanpa melibatkan pembiayaan kepada siswa. Kalaupun siswa dikenai biaya itupun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
b. Bagaimana pemerintah dapat membuat regulasi tentang standar Biaya Operasional Pendidikan. Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu.
c. Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal Swadaya, Block Grant, dll) kepada sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi.
d. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang profesional untuk dapat mengaar di daerah-daerah terpencil.
DAFTAR PUSTAKA
T.
Sulistyono, Drs. M.Pd.,MM. 2003. Wawasan Pendidikan. Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
Pendidikan Nasional.
(Eka, R.
2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com,
diakses 9 Maret 2009)).
0 komentar:
Posting Komentar