Blue Fire Pointer

Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia

21.06 |



BAB I
PENDAHULUAN


1.1             Latar Belakang
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan akan menimbulkan dua macam dampak yang saling bertentangan. Kedua dampak itu adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif adalah segala sesuatu yang merupakan harapan  dari pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut sebagai ’Tujuan’. Sedangkan dampak negatif adalah segala sesuatu yang bukan merupakan harapan dalam pelaksanaan kegitan tersebut, sehingga dapat disebut sebagai hambatan atau masalah yang ditimbulkan.
Jika peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka pelaksanaan pendidikan akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai masalah dan hambatan yang akan dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut sebagai permasalahan Pendidikan.
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum.
Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ”yang kaya” maupun ”yang miskin” dan masyarakat perkotaan maupun pedesaan (terpencil). Kurang meratanya pendidikan di Indonesia terutama akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk menanganinya.


1.2             Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dan diungkapkan dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
2.    Apa saja permasalahan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia ?

1.3              Batasan Masalah
Agar masalah yang dikemukakan terarah pada sasaran maka perlu pembatasan pada makalah ini, yaitu hanya membahas tentang pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.

1.4              Tujuan Penulisan
a.    Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
 Untuk mengetahui bagaimana pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.
b.     Untuk mengetahui apa saja permasalahan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.
c.     Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Pemerataan Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti: 1) meliputi seluruh bagian, 2) tersebar kesegala penjuru, dan 3) sama-sama memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah  pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau biasa disebut perluasan keempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama unutk memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut  jenis kelamin, status sosial, agama, amupun letak lokasi geografis.
Dalam propernas tahun 2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai kebijakan pembangunan pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
“Mengupayakan perluasan dan pemeraatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya Manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peninggakatan anggaran pendidikan secara berarti“. Dan pada salah satu tujuan pelaksanaan pendidikan Indonesia adalah untuk  pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa Pemerataan Pendidikan merupakan tujuan pokok yang akan diwujudkan. Jika tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan pendidikan belum dapat dikatakan berhasil. Hal inilah yang menyebabkan masalah pemerataan pendidikan sebagai suatu masalah yang paling rumit untuk ditanggulangi.
Permasalahan Pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daearh-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia.
Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan
bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan.


2.2     Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah.
Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini perlu ditempuh strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial.
Di Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah (Ono Purbo, 1996), penggunaannya masih merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’.
Di samping itu, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat menghadirkan pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan. Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya: fasilitas, alat-alat transportasi dan komunikasi di samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap teknologi.
Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini – bila perbaikan hidup masyarakat yang lebih banyak ini yang menjadi sasaran kita dengan menyediakan pendidikan yang lebih berkualitas; lebih efektif dan cepat – kondisi yang proporsional harus diciptakan dengan memobilisasi sumber-sumber lokal dan nasional. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.
Pemerataan pendidikan masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan pemerataan pendidikan non formal.

2.2.1     Pemerataan Pendidikan Formal
Pada jenjang pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan peningkatan pemerataan pendidikan masih menjadi masalah utama, terutama bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan formal terdiri dari pemertaaan pendidikan di tingkat prasekolah, sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.
Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, semisal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas,  sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
Untuk pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia


2.2.2    Pemerataan Pendidikan Nonformal
Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat.
Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.


2.3    Permasalahan Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
      Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraan baik pada pendidikan prasekolah dan pendidikian dasar, secara ringkas diuraikan berikut;
a. Pendidikan prasekolah,
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil adalah sebagai berikut :
1) Sebagian besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk pendidikan prasekolah.
2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat mendukung aktivitas anak didik dalam bermain sambil belajar.
b. Pendidikan dasar
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi terkait dengan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin maupun masyarakat di daerah terpencil, kaitannya dengan perluasan dan pemerataan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib belajar belum memiliki makna “compulsory” karena ketidakmampuan subsidi pemerintah untuk menjangkau masyarakat marjinal ke bawah yang jumlahnya cukup besar dan secara ekonomi tidak mampu.
2.4     Perkembangan Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Selama ini, pembangunan pendidikan telah membuahkan hasil yang cukup baik. Pencapaian pembangunan pendidikan antara lain dapat dilihat pada peningkatan angka partisipasi kasar (APK) di setiap jenjang pendidikan. Menurut data Susenas 2004, APK pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing telah mencapai 107,13 persen dan 82,24 persen, sedangkan APK pada jenjang SMA/SMK/MA telah mencapai 54,38 persen.
Meskipun demikian, angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, mengingat sampai dengan tahun 2003 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen.
Sementara itu, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,24 tahun. Meskipun pada tahun 2004 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7–12 tahun sudah hampir 100 persen, angka partisipasi sekolah penduduk usia 13–15 tahun dan penduduk usia 16–18 tahun masing-masing baru mencapai 83,5 persen dan 53,5 persen (Susenas 2004). Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat meningkatkan angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Dalam hal ini, pada tahun 2006, pencapaian APS diperkirakan masih sebesar 83,2 persen pada kelompok usia 13–15 tahun dan 56,0 persen pada kelompok usia 16–18 tahun sesuai sasaran RKP 2006.
Meskipun demikian, pembangunan pendidikan masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan terutama berkaitan dengan perluasan akses dan pemerataan pendidikan pada jalur formal. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen.
Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar merupakan persoalan serius yang dapat mempengaruhi keberhasilan penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Menurut data Susenas 2003, masih tingginya angka putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan itu lebih banyak bersumber pada persoalan ekonomi, karena banyak di antara anak-anak usia sekolah dasar itu berasal dari keluarga miskin. Untuk menekan angka putus sekolah, pemerintah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Sekolah (BKS), dan Bantuan Khusus Murid (BKM) atau beasiswa.

2.5     Upaya Pemerintah dalam Pemerataan Pendidikan Masyarakat Miskin dan Terpencil di Indonesia
Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Selain itu pemerintah akan mengurangi tingkat disparitas atau ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan yang bersifat gender.

2.5.1     Wajib Belajar

Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang menanggungnya”
Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.

2.5.2     Bidang Teknologi

Kemajuan teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil. Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan.
Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan yang disiarkannya. Sebagai media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana pemersatu wilayah yang efektif bagi pemerintah.
Pemerintah melalui TVRI menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional.
Tugasnya mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
Siaran Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu sistem atau model pemanfaatan program media audio interaktif untuk siswa SD yang dikembangkan oleh Pustekkom sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Produk media audio lain yang dihasilkan oleh Pustekkom antara lain Radio Pelangi, audio integrated, dan audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi sebagai media pembelajaran bagi peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan .




BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan
Pemerataan pendidikan yang ada saat ini masih kurang terealisasikan dengan baik. Permasalahannya yaitu karena pendidikan itu sendiri masih berorientsi di wilayah perkotaan dan subsidi dari pemerintah itu pun masih belum mencukupi untuk masyarakat yang tidak mampu yang jumlahnya cukup besar. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia yaitu dengan adanya program wajib belajar 9 tahun dan pengadaan teknologi informasi seperti televisi dan radio.


3.2 SARAN
Upaya-upaya peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang disarankan oleh penulis adalah :
a. Pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha yang menjadi ruh/biaya operasional pendidikan lebih-lebih tanpa melibatkan pembiayaan kepada siswa. Kalaupun siswa dikenai biaya itupun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
b. Bagaimana pemerintah dapat membuat regulasi tentang standar Biaya Operasional Pendidikan. Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu.
c. Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal Swadaya, Block Grant, dll) kepada sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi.
d. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang profesional untuk dapat mengaar di daerah-daerah terpencil.




DAFTAR PUSTAKA



T. Sulistyono, Drs. M.Pd.,MM. 2003. Wawasan Pendidikan. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
(Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Maret 2009)).










0 komentar:

Posting Komentar